Senin, 02 Januari 2012

Gotong Royong di Desa


Saya sangat bersyukur dilahirkan di sebuah desa 5 km sebelah utara sungai brantas, yang lebih penting dari itu adalah prinsip hidup gotong royong sangat dijunjung tinggi dalam setiap bidang kehidupan. Semua urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak selalu dikerjakan secara bersama-sama dan tanpa ada hitung-hitungan bayaran.
Urusan lain seperti menanam tembakau, membangun gedung sekolah, tempat ibadah, hajatan pernikahan atau sunatan dan kematian juga dikerjakan dengan cara seperti itu.
Waktu terus berjalan dan jaman telah berubah, banyak perubahan terjadi desa saya. Semangat gotong royong yang dulu sangat dijunjung tinggi dari waktu ke waktu terus memudar. Titik awalnya dimulai dari sektor pertanian.
Pekerjaan mencangkul, membajak sawah, menanam dan menyiangi tanaman padi pada saat itu biasanya dikerjakan oleh buruh warga desa saya, mereka dibayar secara harian. Sementara untuk pekerjaan memanen padi, pemilik sawah akan memberikan bagian bawon berupa sepersepuluh hasil petikan padi kepada masing-masing pemetik. Hasil bawon satu sama lain biasanya hampir sama karena cara dan alat yang dipakai semua juga sama.
Sabit sebenarnya alat yang tidak begitu familier di desa saya, alat potong ini biasanya dipakai para lelaki untuk mencari rumput untuk hewan ternak mereka. Sejak saat itu mereka mulai mengajak suami dan anak laki-laki mereka untuk membantu bahkan menggantikan pekerjaan memetik padi. Memanen padi yang dulu menjadi domain perempuan, kini beralih menjadi domain lelaki.
Dampak sosial dari perubahan ini adalah hilangnya keguyuban dan kehangatan saat memanen padi. Tidak ada lagi senda gurau para perempuan pemetik padi, juga tidak ada lagi acara makan-makan bersama. Pemandangan indah yang dulu biasa terlihat, kini berganti dengan persaingan antar para lelaki pemetik padi. Yang ada dalam pikiran setiap pemetik sekarang adalah bagaimana bisa menghasilkan padi sebanyak-banyaknya.
Suasana yang tidak sehat dan semakin sempitnya lahan sawah di desa, membuat warga desa saya menarik diri dari dunia pertanian. Mereka kemudian beralih profesi menjadi sopir, penjual bakso, pedagang di pasar, peternak bebek atau buruh di pabrik tahu. Kini, hampir tidak ada lagi warga desa saya yang mau terjun di sektor pertanian.
Karena sulit mencari buruh tani dari warga setempat, para pemilik sawah kemudian mencari tenaga kerja dari desa lain. Mereka biasanya datang dari satu desa yang cukup jauh dari desa saya dalam jumlah sampai puluhan orang. Hitungan upahnya biasa dilakukan secara borongan.
Kini, satu-satunya pekerjaan yang semangat gotong royongnya masih tinggi mungkin tinggal pekerjaan yang berkaitan dengan soal kematian. Untuk urusan yang satu ini hampir semuanya masih gratis, mulai dari pembuatan makam, pengurusan jenazah, pembacaan tahlil dan lain-lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar